Tanah Darmo Hill: Antara Hak Rakyat dan Klaim BUMN Menguji Kepastian Hukum Agraria Indonesia
Oleh: Prof. Dr. Oscarius Yudhi Ari Wijaya, M.Si., M.H., M.M., CLI – Dosen STIK–PTIK Lemdiklat Polri
Surabaya, JejaringPos.com – Sengketa tanah seluas 2.204 hektare di kawasan Darmo Hill, Surabaya, kembali menggugah kesadaran publik tentang rapuhnya tata kelola aset negara dan lemahnya kepastian hukum hak atas tanah di Indonesia. PT Pertamina (Persero) mengklaim bahwa lahan tersebut merupakan bagian dari _Eigendom Verponding_ No. 1278 peninggalan masa Hindia Belanda. Di sisi lain, ratusan warga telah memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan ataupun Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan secara resmi oleh BPN.
Pertanyaannya: siapakah pemilik sah tanah itu? Apakah warga yang telah puluhan tahun menempati dan memiliki sertifikat ataukah Pertamina yang baru sekarang menyatakan klaim?
*Keterlambatan Klaim: Celah Kepastian Hukum*
Secara hukum, klaim kepemilikan Pertamina tidak otomatis batal hanya karena baru diungkap sekarang. Namun keterlambatan penegasan hak selama puluhan tahun menimbulkan persoalan besar bagi asas kepastian hukum dan keadilan sosial, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 serta Pasal 2 dan 19 UUPA No. 5 Tahun 1960.
Jika Pertamina memang memiliki dasar hukum yang sah, mestinya telah dilakukan pendaftaran ulang hak dan pemutakhiran data aset jauh sebelum ratusan sertifikat diterbitkan. Kelalaian negara dalam mengadministrasikan aset publik tidak dapat serta-merta menjadi beban hukum bagi warga negara yang beritikad baik dan taat prosedur.
*Sertifikat: Bukti Sah Kepemilikan*
Dalam sistem hukum agraria nasional, SHM merupakan hak paling kuat dan penuh, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 UUPA dan Pasal 32 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pasal 32 ayat (2) PP 24/1997 menegaskan:
“Dalam hal suatu bidang tanah telah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak tidak dapat menuntut pelaksanaan haknya apabila dalam waktu lima tahun sejak diterbitkan sertifikat tersebut tidak mengajukan keberatan atau gugatan ke pengadilan.”
Dengan demikian, sertifikat adalah alat bukti otentik yang berlaku penuh sepanjang belum dibatalkan oleh putusan pengadilan atau keputusan administrasi yang sah. Untuk menguasai kembali lahan Darmo Hill, Pertamina wajib menempuh proses pembatalan sertifikat melalui pengadilan, bukan melalui klaim sepihak.
*Asas Fungsi Sosial dan Keadilan Ganti Rugi*
Pasal 6 UUPA mengatur bahwa setiap hak atas tanah memiliki fungsi sosial, artinya pengelolaan tanah harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat.
Jika kemudian terbukti bahwa sebagian lahan memang sah milik Pertamina, maka kewajiban moral dan hukum BUMN adalah memberikan kompensasi yang layak kepada warga yang haknya dicabut. Asas keadilan distributif (Aristoteles) yaitu pembagian hak yang adil antara negara dan masyarakat serta prinsip utilitarianisme Jeremy Bentham menegaskan bahwa hukum seharusnya menciptakan manfaat bagi sebanyak-banyaknya orang, bukan menimbulkan penderitaan kolektif.
*_Occupantie_ dan Penguasaan Faktual*
Meskipun hukum Indonesia tidak mengenal doktrin _adverse possession_ secara eksplisit, praktik penguasaan tanah secara terbuka, beritikad baik, dan berkelanjutan tetap menjadi elemen penting dalam pembentukan hak. Asas _res nullius credit occupantie_ tanah tak diurus dapat dikuasai pihak yang memeliharanya — dapat dijadikan pijakan moral yang memperkuat klaim warga Darmo Hill yang telah puluhan tahun menguasai tanah tersebut, membangun rumah, membayar pajak bumi dan bangunan, serta memiliki sertifikat resmi.
*Kewajiban Negara dan Transparansi Data*
Dalam konteks ini, Kementerian ATR/BPN dan Kementerian BUMN harus segera membuka data publik mengenai dokumen kepemilikan serta peta batas wilayah _Eigendom_ 1278, agar masyarakat memperoleh kepastian hukum. Transparansi adalah syarat mutlak bagi keadilan publik. Selain itu, mediasi antara pihak Pertamina, pemerintah, dan warga perlu segera difasilitasi — bukan sekadar penyelesaian sengketa, tetapi juga pemulihan kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Dari uraian di atas sengketa Darmo Hill bukan sekadar pertarungan hak kepemilikan, melainkan ujian besar bagi konsistensi hukum agraria Indonesia. Negara harus memastikan bahwa hukum berpihak pada kebenaran substantif, bukan sekadar formalitas administratif. Sertifikat warga tidak boleh diperlakukan sebagai dokumen yang bisa dianulir begitu saja oleh kekuatan korporasi negara.
Pada akhirnya, tanah bukan sekadar harta benda, melainkan ruang hidup dan martabat manusia dan bila hukum gagal melindungi rakyat dari ketidakpastian, maka yang runtuh bukan sekadar hak milik melainkan kepercayaan rakyat terhadap keadilan di negerinya sendiri. Sengketa Darmo Hill hendaknya menjadi cermin bahwa reformasi agraria bukan sekadar pembagian tanah, tetapi pembenahan cara negara memandang hak rakyatnya.
Editor : Redaksi